PARADIGMA KAMI

Frasa “Berbasis Pesantren” adalah orientasi kedua dari “Pascasarjana Pengabdian”. Pesantren yang dimaksud di sini tidak terbatas hanya sebagai “lembaga pendidikan” semata, melainkan juga sebagai “tradisi” (turāṡ). Dalam perspektif sosiologis, tradisi menurut Edward Shils (1981) secara umum adalah “traditum”, yakni segala hal yang ditransmisikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan makna ini, tradisi memuat dua karakteristik yang inheren dalam dirinya. Pertama, tradisi berhubungan erat dengan “masa lalu yang dirasakan” (perceived past) yang bersifat elastis (plastic thing) sehingga membuka ruang untuk bagi perubahan. Kedua, tradisi dalam perjalanannya selalu berdialektika antara stabilitas dan perubahan sesuai dengan dinamika ruang dan waktu serta imajinasi dan kreativitas berpikir orang atau komunitas yang hidup di dalamnya.[1] Dengan dua karakteristik ini, tradisi bisa menjadi terjemahan yang tepat bagi kata “turāṡ” yang populer dalam wacana Post-tradisionalisme Islam.[2] Oleh karena itu, Martin van Bruinessen (1995) menyebut pesantren sebagai salah satu “tradisi agung” (great tradition) di Indonesia.[3] Sebagai tradisi agung, pesantren tidak hanya meliputi elemen-elemen kunci Islam tradisional semisal masjid atau langgar, pesantren, kiai, santri, dan kitab kuning semata, tetapi juga meliputi ragam elemen kebudayaan, yakni pola berpikir (manhaj al-fikr), nilai-nilai, dan pola perilaku dan gerakan (manhaj al-ḥarakah) yang terbentuk sejak awal kemunculan pesantren. Elemen-elemen kebudayaan ini, selain diterapkan dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, juga mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa PTKI Pengabdian yang berbasis riset transformatif berpijak di atas tradisi pesantren, yakni pola berpikir, nilai-nilai, dan pola gerakan yang terselip di balik ragam unsur pesantren sebagai lembaga, yakni kiai, santri, asrama, masjid, dan kurikulum (kitab kuning).


[1] Selengkapnya, baca: Edward Shils, Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1981).

[2] Baca, misalnya: Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi & Reformasi: “Pragmatisme” Agama dalam Pemikiran Hassan Hanafi, ctk. I (Malang: Bayumedia, 2003); Zuhairi Misrawi, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, ctk. I (Jakarta: Kompas, 2004); Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, ctk. I (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI, 2007).

[3] Hanya saja, Bruinessen kemudian mereduksi makna pesantren hanya sebagai lembaga dan sistem pengajaran keilmuan. Lihat: Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, terj. oleh Farid Wajidi dan Rika Iffati, edisi baru, ctk. I (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), hlm. 85.